Kamis, 10 Juli 2008

Kekasih Kecilku.....



Aku mencintainya layaknya anakku sendiri. Aku menghidupinya. Aku memberikan sebagian waktuku hanya untuk mengurusnya, mengajaknya bermain, memandikannya.

Kekasih kecilku yang sudah mulai bisa menggigitku.

Kekasih kecilku yang sudah mulai bisa mengenal siapa aku.

Kekasih kecilku yang sudah mulai mengerti keberadaanku, maupun Matahariku.

Kekasih kecilku yang selama beberapa hari ini menyita sebagian perhatianku untuknya.

Aku bertemu dengannya ketika aku dan Hatiku menyusuri jalan di depan BIP. Mataku tertuju pada seekor anjing kecil yang terlihat muram dan mengharap ada sepasang tangan menggendong dan mengelus punggungnya yang *mungkin* kesakitan karna tuan lamanya dengan sembarangan memperlakukan dirinya.

Iseng kutanya harga anjing itu.

“Dua ratus dua lima, Teh. Boleh ditawar kok, ” sahut si Penjual.

Aku menawar tujuh puluh lima ribu. Dan aku ditertawai oleh si Penjual itu. Lalu aku iseng menanyakan anjing jenis apa yang aku pegang ini. Ia menjawab, “Foxbermenn, Teh.”

Memang, aku tidak memperhatikan jenis anjing apa ini sebenarnya. Tidak terlalu penting bagiku. Yang menjadi perhatianku adalah, ketika anjing kecil yang kupegang ini ternyata tak mau lepas dari genggaman. Ia justru lebih dekat... dan lebih dekat dalam pelukan. Entah karna dinginnya malam, ataukah memang ia ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu, dan menyelamatkan diri. Dan aku ingin menyelamatkannya dari ancaman yang *mungkin* akan datang ketika aku tidak jadi membelinya.

Hm... Aku berpikir, akan ditempatkan di mana anjing kecil ini, kalau nanti aku sudah berhasil mendapatkannya dari menukarkan dengan sejumlah uang? Aku telephon si Botak, teman kampusku. Ia bersedia membatuku. Dan terjadilah persetujuan itu. Aku menukarkan sejumlah uangku untuk mendapatkan anjing kecil itu, dan tepat pada waktunya Botak datang menemuiku. Dan aku akhirnya membawa anjing kecil itu dengan kardus kecil yang kubeli di jalan. Aku membawanya ke Lengkong, tempat si Petet, teman Botak. Di tempat Petet pula kami menamakan anjing kecil itu Rambo. Dengan harapan ia akan sekuat tokoh Rambo dan tidak lagi penyakitan. Setelah bermain sekian lama di sana, aku membawanya pulang ke Jatinangor dengan motor dan Hatiku.

Hm... Perjuangan yang sedikit melelahkan ternyata. Botak membawa Rambo ke tempat Nobeng, salah satu teman dekatnya. Botak mengatakan bahwa Nobeng menjanjikan sepetak tempat penampungan sementara untuk Rambo. Aku sedikit lega, karena aku tidak perlu repot lagi menjelaskan pada anak-anak kosku tentang keberadaan Rambo di kamarku.

Hm... Namun kenyataan berkata lain. Dan mungkin aku mulai kecewa. Rambo tidak lagi di tempat Nobeng, karna dengan berbagai alasan Botak menjelaskannya padaku. Rambo ada di tempat Botak. Dan mungkin aku pun sedikit berterima kasih padanya, telah menyediakan tempat yang walaupun terlihat kotor dan menjijikkan untuk Rambo. Setidaknya aku tidak perlu repot menjelaskan pada anak-anak kosku tentang keberadaan Rambo jika ia di kamarku.

Hm... Aku memutuskan untuk membawanya pulang ke kos. Karna aku tidak tahan lagi ketika Botak memberikan alasan yang menurutku tidak masuk akal. Lebih baik aku membawa Rambo bersamaku dan Hatiku. Semalaman Hatiku tak keluar kamar, untuk menjaga Rambo, membersihkan kotoran dan muntahannya di kamarku. Dan kamarku pun mendadak berubah menjadi seperti kandang yang bau. Jujur, aku sedikit merasa menyesal mengapa aku membelinya dan membawanya bersamaku. Namun kini ia adalah tanggung jawabku. Dan aku mencintainya. Mencintainya sebagai kekasih kecilku, seperti anakku sendiri.

Rambo.. Satu-satunya binatang yang bisa membuatku menangis. Satu-satunya binatang yang membuatku sadar betapa berat perjuangan orang tua membesarkan anaknya. Aku memutar pikiranku. Otakku berusaha mencari jalan keluar, di manakah seharusnya Rambo ada? Hm... Fannie... temanku sekelas di kampus Psikologi bersedia ketika aku mengatakan ingin menitipkan Rambo di rumahnya. Oh God! Sepertinya aku sedang kehausan dan akhirnya aku menemukan sumber mata air yang menghilangkan dahagaku. Aku menangis.... Menangis karna akhirnya aku menemukan apa yang aku inginkan. Menangis karna akhirnya Tuhan memberiku jalan.

Aku bergegas ke rumah Fannie ketika ia memberiku kabar bahwa ia sudah berada di rumah. Aku dipinjamkan kandang yang pernah ia beli untuk Dixie, anjing kecilnya yang ia beli dari tempat yang sama ketika aku membeli Rambo. Bersyukurlah aku, Tuhan! Semua karna-Mu, Tuhan!

Dan kini, terhitung mulai tanggal 31 Mei 2008, Rambo kutitipkan di rumah Fannie. Dan aku harusnya sadar, tidak ada yang gratis di dunia ini. Paling tidak aku ikut membayar air yang paling banyak aku pakai untuk membersihkan kandang itu dan memandikan Rambo.

Ehm....

Kekasih kecilku yang sudah mulai bisa mengigitku.

Kekasih kecilku yang sudah mulai bisa mengenal siapa tuannya.

Kekasih kecilku yang sudah mulai mengerti keberadaanku, maupun Matahariku.

Kekasih kecilku yang selama beberapa hari ini menyita sebagian perhatianku untuknya.

Rambo... Dia yang menyadarkanku bagaimana aku bertanggungjawab atas anakku kelak. Dia yang membuatku belajar arti tanggungjawab dan kasih sayang.

I Love You Rambo......

Tidak ada komentar: